Ada satu ungkapan yang sangat
bernilai, akan tetapi terkesan sinis dari Jenderal Besar Abdul Haris Nasution
semasa hidupnya, berkata : bahwa musuh Negara yang paling ditakuti bukanlah PKI
atau terorisme, melainkan kemunafikan. Ungkapan tersebut di atas ada benarnya
dimasa itu, karena korupsi belum menjadi perhatian pemerintah sekalipun UU No.
3 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi sudah ada, akan tetapi penanganan
korupsi di masa itu seperti gayung tidak bersambut, dan korupsi tampaknya
bukanlah barang haram, namun bila dimasa itu kemunafikan merupakan musuh
negara, maka sangatlah tepat bila saat ini musuh negara yang paling berbahaya
adalah korupsi yang di dalamnya ada kemunafikan.
Power
tends to corrupt (kekuasaan cenderung untuk berbuat korupsi) satu ungkapan di
dalam tataran ilmiah yang kaitannya dengan abuse of power atau penyalahgunaan
kekuasaan menjadi faktor utama terjadinya korupsi, disamping adanya faktor lain
seperti nepotisme dan kolusi. Jika abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan
merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi, dapat dianalogkan bahwa
kekuasaan identik dengan korupsi.
Sebenarnya
korupsi dapat terjadi di semua lini birokrat (penyelenggara negara), jika akal
budi tidak bekerja dengan baik untuk merespon keseimbangan hukum, dalam rangka
melahirkan ketertiban dan keadilan. Manakala ketertiban dan keadilan telah
terabaikan, inspirasi dan intuisi akanberontak untuk menyuarakan keadilan
hingga gerbong keadilan dapat dirasakankembali oleh masyarakat secara layak
sebagai kebahagiaan hukum.
Terkait
dengan hal yang terurai di atas, maka satu pemikiran dari Sudiman
Kartohadiprojo, seorang filsuf dan pakar hukum Indonesia, yang pada awalnya
bangga dengan pemikiran para guru besarnya di Belanda yang memberikan tempat
pada kolonialisme yang seolah-olah menampilkan keadilan di dalamnya. Pemberontakan
yang dilakukan oleh Sudiman Kartohadiprojo terhadap sistem hukum Belanda yang
memberikan tempat kolonialisme yang seolah-olah menampilkan keadilan di dalamnya
bertolak belakang dengan pancasila dan sisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Jika
saat ini korupsi dapat dikatakan bagian dari pada kolonialisme birokrat dan
menjalar menembus kekuasaan yang suci, strategi yang ditawarkan untuk mengatasi
prilaku korupsi tersebut, hanyalah sebuah gerakan energi hukum yang di dalamnya
berisi daya dorong dan dobrak untuk membangkitkan hukum agarbekerja dan
penyadaran diri manusia itu sendiri, serta melepaskan kehidupan yangegois.
Jika
tampilan-tampilan egois tersebut sulit dihilangkan di dalam tataran birokrat,
tidak menutup kemungkinan korupsi akan selalu berkembang.Maka berbicara tentang
korupsi tidak lepas dari hal yang bersifat ego dan dalam penanganannya
dibutuhkan kebersamaan untuk merubah yang keliru menjadi yang benar. Perlu
diketahui bahwa untuk menanggulangi korupsi di Indonesia dewasa ini sudah dilakukan
dengan cara-cara ekspsional (extra ordinary measures).
Jika
saat ini lembaga khusus yang independen telah dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan khusus, untuk menangani korupsi, bukan berarti lembaga
Polri dan Kejaksaan lepas tanggungjawab, melainkan harus bersatu padu untuk
memberantasnya.
Namun
meskipun demikian, dalam suatu negara hukum, lembaga khusus dengan kewenangan-kewenangan
khususnya harus tetap berkiprah dalam koridor hukum, jadi harus tetap adil dan
terkendali berdasarkan hukum yang berlaku. Keberadaan Pengadilan Tipikor saat
ini, dapat mewadahi peradilan yang fair, objektif dengan tampilan hakimnya
memiliki integritas yang tinggi dan sungguh-sungguh dibekalidengan pengetahuan
tentang makna dan praktek korupsi secara mendalam.
Tentunya
untuk menjamin independensinya sebagai sebuah pengadilan tipikor, maka eksistensinya
harus terlepas dari kepentingan apapun, selain kepentingan penegakan hukum,
yang menjamin berlangsungnya “due process of law”. Jika eksistensi
lembaga-lembaga yang mempunyai kekuasaan yang demikian besar itu kelak
menghasilkan putusan-putusan hukum yang tidak adil dan menimbulkan
akibat-akibat yang lebih buruk bagi hukumdan keadilan, hendaknya selalu diingat
apa yang pernah dikatakan oleh Francis Bacon bahwa“... there is no worse
torture than the torture of laws.” (tidak ada penyiksaan yang lebih
burukdibanding penyiksaan terhadap hukum). Demikian juga Samuel S. Leibowitsz
mengatakan : “ I hear many people calling out ‘Punish the Guilty’, but very few
are concerned to clear the innocent.” Untuk para koruptor, secara mutatis
mutandis, kita dapat berkata : “Banyak atau semua orang berseru “Hukum para
koruptor, bahkan hukum seberat mungkin dan jika perlu hukum mati.
Namun
sangat sedikit orang yang mengatakan : “Bebaskan atau jangan hukum orang yang
tidak bersalah”.Jika kejahatan korupsi sulit untuk diberantas oleh pemerintah
(penegak hukum) berarti ada sesuatu yang salah di dalam Pemerintah, atau dapat
dikatakan hukum tidak bekerja. Tidakbekerjanya hukum, karena penegak hukum
belum memaksimalkan upaya penegakan hukumterhadap kejahatan korupsi yang sering
kali di sebut Extra Ordinady Crime.
Undang-undang
No. 31 tahun 1999 dan perubahannya Undang-undang No. 20 tahun 2002, dan Inpres
No. 5 tahun 2004, merupakan hukum positif yang dijadikan dasar oleh para
penegak hukum dalam rangka melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Jika
kita sadari bahwa ke 2 (dua) UU tersebut dengan ancaman yang sangatberat
khususnya pasal 2 ayat (2) yang menyatakan dalam hal tindak pidanakorupsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) dilakukan dalam keadaantertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan. Artinya bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku
korupsi dapat dijatuhkan hukuman mati sebagaibagian dari penegakan hukum.
Pertanyaannya
mengapa korupsi menjadi idola? sedangkan sanksi hukumnya sudah sangat berat
ditambah lagi stetmen dari pemerintah bahwa pelaku korupsi harus dimiskinkan,
tentu jawabannya yang paling radikal adalah bahwa korupsi dapat memperkaya / menguntungkan
diri sendiri atau pihak lain atau korporasi (isi pasal 2 dan pasal 3), sehingga
resiko sebesar apapun yang akan dihadapi menjadi suatu hal yang lumrah
tampaknya dan bagi mereka yangberpikiran demikian perlu dipertanyakan jati
dirinya sebagai anak bangsa.
Bertitik
tolak apa yg telah uraikan di atas, berbicara tentang peranan kepolisian dalam pemberdayaan
aspek hukum dan moral pada pencegahan TPK, maka untuk menghindari penyalahgunaan
di dalam pelaksanaan tugas tentu membutuhkan acuan dan konsep-konsep yg sifatnya
umum dan tdk sulit dilaksanakan seperti di bawah ini :
1. Membuat
Standar Operasional Penyidikan (SOP), sebagai acuan di dalam melakukan
penyidikan untuk menghindari kesewenang-wenangan.
2. Dalam
proses penyidikan, selalu mengedepankan azas equility before the law disamping
azas presumption of innocent.
3. Membuka
jaringan dengan swadaya masyarakat yang care terhadap pemberantasan korupsi.
4. Kerjasama
dengan BPKP dan BPK dalam hal audit investigatif maupun audit perhitungan kerugian negara.
5. Kerjasama dengan Perguruan Tinggi
Negeri seperti ITB untuk pengujian fisik
bangunan, jembatan dan DAM.
6. Kerjasama dengan Lembaga LKPP.
7. Kerjasama dengan Lembaga PPATK.
8. Kerjasama dengan Perbankan.
9. Kerjasama
dengan Kejaksaan.Disamping tugas sebagai penegak hukum seperti yang telah di uraikan di atas, dalam konteks penyadaran
hukum yang telah dilakukan berbagai
upaya atau langkah-langkah seperti :
1. Seminar
tentang bekerjasama dengan kampus.
2. Melalui pendidikan (Pra Jabatan)
di berbagai even terhadap Birokrat (para
pejabat) di berbagai Pemda.
3.
Pemasangan spanduk, stiker.
4.
Kerjasama dengan pemuka agama.
5.
Kerjasama dengan Campus dan
sekolah-sekolah.
6.
Kerjasama dengan BPK dan BPKP.
7.
Kerjasama dengan para Pimpinan Birokrat.
8.
Kerjasama dengan Lembaga Criminal Justice
System.
Jika
berbagai upaya tersebut telah dilakukan, akan tetapi dampaknya belum dapat
menurunkan prilaku korupsi ke level yang ideal (harapan zero crime Corrupt).
Indikasi prilaku koruptif selalu muncul, menunjukkan bahwa prilaku koruptif
bukan lagi persoalan moral, melainkan sudah menjadi persoalan hajat hidup
sebagai alasan utama, sekalipun resiko hukum sangat berat untuk dihadapi.
Begitu
banyaknya korupsi yang terjadi di Indonesia dan terkesan penegakan hukum yang dilakukan
oleh Polri dan Kejaksaan tidak berjalan dan tidak mampu untuk
memberantasnyakarena terkendali dengan faktor-faktor adminstratif dengan
lembaga terkait lainnya, campurtangan kekuasaan dan politik, maka untuk memacu
kinerja kedua lembaga penegak hukumtersebut agar bekerja, kehadiran KPK dengan
undang-undangannya No. 30 tahun 2002 dikandung maksud untuk dapat menerobos
semua problem yang diuraikan di atas danhasilnya dapat di lihat saat ini
walaupun masih banyak komentar dari berbagai kalangan.
Keberadaan
lembaga KPK saat ini, diharapkan sebagai triger dan filar penegakan hukum (law
enforcement) khususnya terhadap kejahatan korupsi, dan menjadi daya dorong, dan
pendobrak untuk meredam prilaku koruptif yang telah meraja lela di berbagai
sektor di lingkungan Birokrat.Banyak sudah hasil kerja KPK, Kejaksaan dan
Kepolisian yang telah menyeret PimpinanBirokrat, dan telah diadili di
pengadilan tipikor maupun di Pengadilan Umum denganhukuman yang sangat
bervariatif.
Karya
profesi dibidang penyidikan yang di tampilkan KPK, Kepolisiaan, Kejaksaan
sebenarnya jika dihitung dari sisi matematika, sudah dapat mempresentasikan
tingkat penegakan hukumyang memadai, artinya bahwa di era reformasi sekarang
ini tidak ada lagi pejabat yang kebal hukum jika dibanding sebelum era
reformasi.
Akan
tetapi tampaknya kesadaran hukum para pejabat publik sepertinya masih belum
berubah untuk patuh terhadap hukum. Memang sangat ironis bahwa sebuah negara
yang berlandasan hukum, kepatuhan masyarakatnya, pejabatnya tidak mencerminkan
sikap yang patuh hukum, apakah hal ini merupakan pertanda bahwa hukum belum
menjadi idola dan panglima seperti yang dicita-citakan oleh hukum.
Disamping
itu bahwa sistem Pemerintahan kita yang dibangun dengan berbagai
perundang-undangan termasuk di dalamnya UU No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme,
dan inpres No. 5 tahun 2004 tentang percepatan penanganan Tindak Pidana
Korupsi, tidak membuat prilaku koruptif berkurang dan nampaknya terus
bertambah.
Secara
statistik, bahwa Indonesia menempati urutan paling buruk di banding
negara-negara lain di Asean tingkat korupsinya, hal itu menggambarkan bahwa
pemerintah tidak dapat memberantas para pelaku koruptif secara tuntas, walaupun
dari data yang dapat kita lihat dari tahun ke tahun, penegakan Tindak Pidana
Korupsi semakin gencar dilakukan, bahkan supor secara langsung dari Presiden RI
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu kesempatan pidatonya di Istana Negara
menyatakan, bahwa untuk melawan korupsi Presiden telah menghunus pedang,
artinya pernyataan Presiden tersebut sebagai bukti bahwa kejahatan korupsi
sudah merupakan musuh utama negara maka diperintahkan seluruh perangkat pemerintahan
harus ikut serta untuk bahu membahu memberantas dan mencegahnya.
Fakta
yang dapat kita lihat, bahwa perkataan Presiden sepertinya belum maksimal di
dengar oleh para birokrat di negara ini dan tidak membuat takut para pejabat
birokrat, hal itu dapat kita lihat secara gamblang, prilaku seorang Gayus Haloman
Tambunan seorang pejabat di Departemen Keuangan dengan pangkat golongan III.a
memiliki uang puluhan milyar rupiah dibeberapa rekening Bank, yang diduga
diperoleh dari cara-cara melanggar hukum, kemudian perkaranya disidik oleh
penyidik Polri dan dilimpahkan ke Kejaksaan dan di sidangkan di Pengadilan
Negeri Tanggerang dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanggerang, saudara
Gayus Haloman Tambunan di bebaskan.
Timbul
banyak pertanyaan terkait dengan putusan bebas tersebut, dan menyeret beberapa pejabat
publik baik dilingkungan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai bukti
bahwa hukum tidak bekerja sebagaimana mestinya artinya hukum diselewengkan
(ultravires).
Contoh
kasus di atas, menggambarkan bahwa mafia hukum sudah menyebar dan mengakar dalam
penyelesaian kasus korupsi. Uang menjadi dewa sebagai kebenaran pragmatik
dengan menampilkan seolah-olah yang rasionalitas, akan tetapi kepastiannya
palsu.
Jika
kita melihat kebelakang istilah mafia sebenarnya sudah ada di dalam lingkaran kejahatan
puluhan tahun yang lalu di negara Itali, dengan sebutan mafioso terhadap kartel
perdagangan narkoba, dan jika di Asean dikenal dengan negara segitiga emas
(Thailand, Kamboja dan Burma). Sehingga jika sekarang istilah mafia hukum jadi
bahan berita di berbagai media massa dan elektronik, menandakan dan
memperlihatkan bahwa hukum telah dimasukin oleh para mafia, dan untuk
memberantas itu Pemerintah akhirnya membentuk satgas anti mafia hukum dan
peradilan.
Memang
sungguh sangat ironis bahwa Menurut hemat dan pandangan penulis /prilaku
koruptif yang radik telah melahirkan pemateri, dibutuhkan satu terobosan baru fenomena
kemiskinan bagi rakyat Indonesia untuk mengatasinya walaupun sifatnya dan
akibatnya pembangunan di berbagai teoritis dan konseptual yaitu tentang energi sektor
terbengkalai, ketahanan ekonomi hukum yang dalam kontek pengertiannya terganggu
dan bahkan stabilitas keamanan adalah daya batiniah dan nurani untuk terancam
lumpuh karena para mafia hukum mendobrak dan mendorong praksis-praksis telah
jadi penentu di dalam kebijakan pejabat hukum, agar hukum senantiansa efektif
public. Dalam mewujudkan cita hukum, terutama ketika hukum terancam lumpuh.
Pemahaman
teoritis dan konseptual Gerakan energi hukum telah ampuh tersebut di dalam aplikasinya
adalah memutar balikkan satu fakta penanganan tumbuhnya gerakan moral yang
tidak kasus yang menimpa Prita Mulyasari sektoral akan tetapi bersifat nasional
untuk seorang Ibu Rumah Tangga yang harus melawan praktek-praktek nepotisme dan
berhadapan dengan peradilan yang kolusi di dalam pelaksanaan hukum agar
diciptakan yang seolah-olah rasionalitas hukum bekerja sesuai tatarannya dan
tidak pembenarannya dan akan melahirkan kalah dari kekuasaan yang sifatnya
kepastian yang palsu.
Gerakan
energy pragmatik (menguntungkan diri sendiri dan hukum dengan cara lahirnya
empati dari kelompok). Seluruh komponen lapisan masyarakat dari kalangan atas
dan bawah dengan menyumbangkan coin per coin uangnya menjadi simbol lahirnya
gerakan energi hukum yang bernurani dan gerakan tersebut akhirnya membuahkan
hasil yang sangat mencerminkan rasa keadilan bagi Prita Mulyasari dan
kemenangan bagi keadilan.
Kalau
demikian apa yang harus kita lakukan menuju Indonesia tanpa korupsi? Sebenarnya
banyak hal :
1. Bahwa
kemunafikan harus dilepaskan dari diri pribadi orang perorangan.
2. Bahwa
law enforcement merupakan harga mati tetapi tetap mengedepankan berhukum degan nurani.
3. Bahwa
kebersamaan untuk mencapai permufakatan di dalam kehidupan masyarakat harus tumbuh untuk mencegah
terjadinya kolusi, nepotisme yang
melanggar hukum, dan hukum yang hidup di masyarakat (living law) harus
tumbuh selalu mengoreksi prilaku
yang menyimpang dan mengedepankan akal
budi yang bersahaja.
4. Kesadaran hukum masyarakat harus
di eksplor (digali), untuk mewujudkan manusia
yang cinta akan cita hukum (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum).
5. Para akademisi, harus memberikan
ilmu yang berarti bagi anak didiknya yang
akan tumbuh dan menjelma menjadi
tunas-tunas bangsa sebagai generasi
penerus, sehingga prilaku koruptif menjadi hal yang menjijikan dalam jiwanya.
6. Para
tokoh masyarakat, tokoh agama, praktisi dan organ- organ kemasyarakatan harus berperan aktif untuk
memberikan kontribusi peningkatan moral
dan akhlak, sehingga jiwa radik koruptif tdk mengakar dalam kehidupan masyarakat.
7. Kaum
wanita juga harus berperan aktif untuk menjaga moralitas kaum bapak yang menduduki jabatan sebagai pejabat
publik, tidak menampilkan sikap yang konsumtif
yang dapat merubah jiwa yang baik kaum bapak menjadi
jiwa yang radik hanya untuk memenuhi kebutuhan.
Marilah
kita bercermin dari pengalaman-pengalaman kehidupan bernegara di masa lalu,
yang memporak- porandakan hukum di jagad kehidupan, karena bagaimanapun bahwa
hukum itu akan selalu mengiringi kehidupan manusia dimanapun dia berada seperti
yang diungkapkan oleh para pakar penstudy ilmu hukum yaitu ubi societes ibi
ius, artinya dimana manusia berada maka disitu ada hukum atau manusia itu adalah
hukum karena manusia sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.
Jika
manusia adalah hukum, maka manusia yang lain tidak boleh menghancurkan
kehidupan manusia disekitarnya karena prilaku koruptif yang ditampilkan,
artinya seberat apapun sisi kehidupan manusia maka sebaiknya tidak mengorbankan
manusia yang lain untuk memenuhi kehidupannya, karena manusia butuh kehidupan
yang layak, sejahtera dan tentunya mengharapkan adanya kebahagiaan hukum di
dalam kehidupannya.
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah
korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan
kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau
ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup,
korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan. Dalam melakukan analisis atas perbuatan
korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses
korupsi yaitu :
• Pendekatan pada sebelum perbuatan
korupsi terjadi
• Pendekatan pada posisi perbuatan
korupsi terjadi
• Pendekatan pada posisi setelah
perbuatan korupsi terjadi
Dari tiga pendekatan ini dapat
diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang
tepat yaitu :
1.
Strategi
Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya
korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya,
sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya
yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini
melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu
mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi
terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan tepat.
Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem
yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi
sebagai aturan yang cukup tepat, memberikan sinyal apabila terjadi suatu
perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu
baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang
setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji
untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus
dilakukan secara terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang
dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari
masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan
sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif
maupun secara represif antara lain :
1.
Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana
yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot
adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup
dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan
martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya”
dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada
yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada
alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman
mati.
2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu
pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari
masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW,
Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya
memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik
untuk melawan korupsi.
Selama ini pemberantasan korupsi hanya
dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada
realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini
diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral
agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua
aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin,
dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan
pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada
dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar
struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan
orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4.
Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi
adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat
manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial
masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan
akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini
antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat
terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah
yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan
menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang
optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan
tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan
bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi
kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan
martabat kehidupan.