Jumat, 14 Juni 2013

SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA


       Sejarah korupsi di Indonesia. 

          Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
          Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri.
          Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging maupun mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
      Era Sebelum Indonesia Merdeka.
          Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyimak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
          Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
          Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
        Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kesultanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kesultanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualam.
          Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?).
          Lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
          Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara. Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
          Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korupsinya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korupsi dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korupsi.
         Dalam buku History of Java, karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
          Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
         Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihormati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
          Kritik dan saran yang disampaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara cenderung otoriter. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
          Budaya yang sangat tertutup dan penuh “kecurangan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdi dalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
      Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi.
          Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
          Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816). Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
        Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan.
          Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
      Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
      Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk.
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak mengenal kompromi.
Era Pasca Kemerdekaan.
          Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
      Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
          Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar