Sejarah
Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Perbincangan
mengenai korupsi dari dulu hingga saat ini masih saja hangat dibicarakan orang.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum
melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat
penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk
penyembuhan belum bisa ditemukan.
Tulisan ini mencoba untuk menelusuri perjalanan para
pemimpin negara ini dalam upayanya memberantas korupsi, mulai dari era Orde
Lama, Orde Baru hingga 'Orde Reformasi'.
Era orde lama
Pada
era ini, di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Sukarno, telah tercatat sudah dua
kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, namun ternyata pemerintah pada waktu
itu setengah hati menjalankannya. Adapun perangkat hukum yang digunakan adalah
Undang-undang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama Paran (Panitia Retooling
Aparatur Negara). Badan ini dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh 2 orang
anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) saat itu adalah, agar para
pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan atau diistilahkan
sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian
ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para
pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran akan
tetapi langsung kepada presiden.
Usaha
Paran akhirnya, mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di
balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun
1963 melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas
mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hari dikenal dengan istilah "Operasi Budhi" di mana
sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata
juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut
Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar
negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Dalam
kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebanyak kurang lebih Rp 11 miliar, suatu jumlah yang cukup banyak
untuk ukuran pada saat itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden,
akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam pertemuan di Bogor,
"prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang
lain".
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era orde baru
Pada
pidato kenegaraan, Soeharto di depan anggota DPR/MPR menjelang hari kemerdekaan
RI tangal 16 Agustus 1967, menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di
Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen
Kehutanan banyak disorot masyarakat karena diangap sebagai sarang korupsi dan
''pat gulipat''.
Maraknya
gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi
Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr. Wilopo dan
A. Tjokrominoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan
lain-lain.
Namun
komite ini hanya ''macan ompong'' karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi
di Pertamina tak direspon pemerintah. Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak
lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang
cukup tajam antara Laksamana Sudomo dengan Nasution.
Hal
itu menyangkut pemilihan metode atau cara, di mana Nasution menganggap bahwa
apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, maka harus dimulai dari atas.
Di samping itu, Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai
dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin
tanpa menimbulkan bekas sama sekali.
Era reformasi
Bung
Hatta pernah mengkonstatir bahwa di era pemerintahan Orde Baru (baca Soeharto),
korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya. Pernyataan tersebut
meski memperoleh tanggapan beragam dalam masyarakat, tetapi kebenarannya tidak
terbantahkan.
Presiden
BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan
baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung
Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu,
Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Kita
mungkin masih ingat pertemuan Gus Dur dengan Tommy Soeharto di Hotel Borobudur,
padahal Tommy saat itu sedang tersangkut kasus korupsi tukar guling Goro dan
penembakan Hakim Agung Syafiudin. Kemudian konglomerat Sofyan Wanandi melalui
Jaksa Agung Marzuki Usman diberinya Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3). Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
Gus
Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi
politik. Laksamana Sukardi ditempatkan sebagai Menneg BUMN yang dalam pola
pikirnya hanya bagaimana cara menjual aset negara untuk meraih uang. Di masa
pemerintahan Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin
merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri.
Pemberian
SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien
King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa
elite pemerintah sebenarnya tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para
pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian
nasional.
Pemerintah
semakin lama semakin kehilangan wibawa. Pelajaran yang bisa ditarik dari
tulisan ini adalah, ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah
membalikkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke
arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan
kemiskinan rakyat.
Ketidak berdayaan hukum di hadapan
orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar