Indonesia merupakan salah satu negara
terkaya di Asia, dilihat dari keanekaragaman
kekayaan sumber daya
alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain
di kawasan Asia, bukanlah sebuah negara yang kaya
malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya
adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya
dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral
dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara
negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang sangat
berbahaya
yang mengancam
semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan
kerugian materil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan
lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh
kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya
di luar batas kewajaran.
Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan
negara, terjadi hampir di seluruh
wilayah tanah air ini. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga Nabi
Muhammad Saw bersabda : suatu bangsa
akan mengalami kehancuran, apabila menegakkan hukum secara diskriminatif, orang
elit yang melakukan pelanggaran hukum tidak dipidana (diampuni) tetapi apabila
orang kecil melakukan pelanggaran hukum dikenai sanksi (HR
Turmudzi dan Ahmad).
Bukan rahasia
umum lagi, kalau bangsa Indonesia memiliki sejarah kelam dalam pemberantasan
korupsi. Hampir semua lini, amat subur sebagai pundi-pundi keuangan pribadi dengan praktek
korupsi. Kondisi ini tentunya amat ironis, sebab Indonesia yang notabene adalah
negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Logikanya,
sebagai negara muslim terbesar sedunia, aspek moral dan pendidikan agama menjadi
kontrol sosial bagi masyarakat termasuk penjabat negara, sehingga mereka takut untuk melakukan tindakan korupsi.
Sayangnya, aspek moral dan pendidikan
agama tidak mampu hadir sebagai kontrol sosial. Yang ada justru budaya korupsi
yang kian merajalela.
Korupsi bisa dipastikan sudah menjadi
tradisi dan mewatak, dalam sebagian
besar alam bawah sadar insan Indonesia. Kalau mau dilihat secara preskriptif,
sebenarnya perilaku korupsi adalah watak bawaan yang diwariskan oleh para
penjajah. Seperti diketahui, bahwa sejak berabad-abad lalu korupsi sudah
terjadi. Kehancuran VOC yang
didirikan oleh Belanda (Vereenigde Oost Indische Compagnie), disebabkan oleh
perilaku korupsi orang-orang yang ada di dalamnya. Hal ini merembet kepada kaum
pribumi, yang akhirnya berimbas hingga saat ini, di mana perilaku korupsi
menjadi mental masyarakat Indonesia.
Menurut Prof. Subekti, korupsi adalah suatu tindak
perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau
perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek.
Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan
uang negara untuk kepentingannya.
Sementara itu, Sayed Hussen Alatas, memberi batasan bahwa korupsi merupakan, suatu
transaksi yang tidak jujur yang dapat menimbulkan kerugian uang, waktu, dan
tenaga dari pihak lain. Korupsi dapat berupa penyuapan, pemerasan dan nepotisme. Istilah
penyuapan, yaitu suatu tindakan melanggar hukum, melalui tindakan tersebut si
penyuap
berharap mendapat perlakuan khusus dari pihak
yang disuap. Misalnya seseorang yang menyuap
penjabat dalam pembuatan perizinan, pengurusan KTP menyuap bagian tata pemerintahan, serta bentuk menyuap dosen
agar memperoleh nilai yang
baik.
Pemerasan, adalah suatu tindakan
yang menguntungkan diri sendiri yang dilakukan dengan menggunakan sarana tertentu, serta pihak
lain dengan terpaksa memberikan apa yang diinginkan. Sarana pemerasan bisa
berupa kekuasaan. Pejabat tinggi yang memeras bawahannya.
Pandangan dan sikap Islam
terhadap korupsi sangat tegas yakni haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara
prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan
sosial dan kemaslahatan semesta, korupsi juga dinilai sebagai tindakan
pengkhianatan dan pengrusakan. Oleh karena itu, baik Al-
Qur'an dan Al-Hadits
menunjukkan pelarangannya secara tegas tentang korupsi.
Sebagai mana firman Allah Swt,
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ô‰è?ur
!$ygÎ/
’n<Î) ÏQ$¤6çtø:$#
(#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB
ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur
tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara
batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada
harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah 188). Dalam ayat yang lain disebutkan bahwa: “Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan
cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”
Sedangkan
dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima
suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW :
Melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya.” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda,
Rasulullah SAW bersabda: “Penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.”
Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi,
generasi sesudahnya, maupun para ulama periode
sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas keharaman korupsi, baik bagi
penyuap, penerima suap maupun perantaranya. Meski ada perbedaan sedikit
mengenai kriteria kecenderungan mendekati korupsi sebab implikasi yang
ditimbulkannya, tetapi prinsip dasar hukum korupsi adalah haram dan dilarang.
Ini artinya, secara mendasar, Islam memang
sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja perilaku korupnya,
melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya
tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang
secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî
menjelaskan bahwa “memakan makanan haram”
itu identik dengan korupsi. Begitu pula Umar
bin
Khaththab berkata bahwa: “menyuap
seorang hakim” adalah sebuah tindakan korupsi.
Korupsi sudah
berlangsung sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Abad Pertengahan hingga
sekarang. Para pendeta di zaman Mesir Kuno memeras rakyatnya dengan alasan,
keharusan menyajikan kurban kepada para dewa. Para Jenderal-Jenderal pada zaman
Romawi memeras daerah-daerah jajahannya guna memperkaya diri. Pada abad
pertengahan, banyak bangsawan korupsi di istana-istana para raja di eropa.
Bahkan sekarang, di wilayah belahan dunia manapun, sampai pada Indonesia terjangkit penyakit
praktek korupsi yang sangat sulit di selesaikan.
Di Indonesia, kita melihat kasus suap
terjadi hampir di setiap lapisan masyarakat. Tak hanya di sektor pemerintahan,
suap bahkan dapat
masuk ke dalam ranah layanan publik seperti pendidikan,
kesehatan, hingga administrasi kependudukan.
Untuk masuk ke sekolah milik negara,
calon siswa tak hanya harus memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga
harus menyiapkan uang pelicin. Demikian pula dalam pelayanan Rumah Sakit milik
negara, suap dibutuhkan agar seorang pasien dapat dilayani dan mendapatkan
ranjang kosong untuk perawatan. Dalam bidang administrasi kependudukan,
peraturan di masing-masing daerah sepertinya “sengaja” dibuat tidak sinkron
untuk mempersulit proses kepindahan seorang warga dari satu wilayah ke wilayah lain,
sehingga membuka peluang suap untuk memperlancar urusan.
Boleh
dikatakan, tidak ada satu layanan publik pun yang terbebas dari suap. Dan tidak
ada satu warga Indonesia pun yang tidak pernah terlibat kasus penyuapan,
kecuali bagi mereka yang tinggal di wilayah terpencil dan tidak pernah
berurusan dengan negara. Dari kebiasaan memberikan suap inilah korupsi ikut
menjadi subur.
Seorang pejabat publik yang meraih kedudukannya dengan
jalan suap akan meminta suap dari masyarakat atau memotong hak-hak yang
seharusnya diberikan kepada masyarakat yang dilayaninya.
Akibatnya, kecurangan tidak hanya terjadi di satu sisi saja tetapi suap diberikan
dari bawah ke atas melainkan juga penggelapan uang negara yang seharusnya
menjadi hak rakyat untuk masuk ke dalam kas pribadi. Inilah terjadi di
Indonesia selama beberapa puluh tahun belakangan ini.
Sebagai pembawa amanat Allah, amanat keadilan dan
kemaslahatan segenap rakyat, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan
ketertiban umum, melindungi keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan keadilan
begi kemaslahatan semua pihak, tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa,
golongan maupun keyakinan agamanya. Allah Swt berfirman:
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù'tƒ
br& (#r–Šxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#’n<Î)
$ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur
OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br&
(#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$#
$KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ
ÿ¾ÏmÎ/
3 ¨bÎ) ©!$# tb%x.
$Jè‹Ïÿxœ
#ZŽÅÁt/
ÇÎÑÈ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
(An- Nissa 58).
Pada kesimpulannya, merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun,
melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit.
Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar
korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan
paripurna di Indonesia.
Korupsi
yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena
pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat pada
sasarannya, “ ibarat seorang
yang sakit kepala, tetapi
yang diobati hanyalah
tangan
“. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika
yang
ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan
kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik
mencegah makin mewabahnya penyakit korupsi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar