Definisi Korupsi dan Jenis Korupsi.
Korupsi berasal dari perkataan bahasa latin “corruptio”
yang berarti kerusakan atau kebrobokan. Di samping itu perkataan korupsi
dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang buruk. Korupsi juga
banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.
Soedjono
D mengemukakan bahwa menurut “New World Dictionary of The American
Language”, bahwa sejak abad pertengahan Inggris menggunakan kata “corruption”
dan Perancis “corruption”. Kata korupsi mengandung arti :
- Perbuatan atau
kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk;
- Perilaku yang
jahat yang tercela atau kebejatan moral;
- Kebusukan atau
tengik;
- Sesuatu yang
dikorup, seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat;
- Pengaruh-pengaruh
yang korup.
J.E.
Sahetapy mengemukakan banyak istilah tentang korupsi di beberapa negara seperti
di Muangthai “ginmoung”, yang berarti “makan bangsa”; “tanwu”
istilah bahasa Cina yang berarti “keserakahan bernoda”. Jepang menamakannya “oshoku”
yang berarti “kerja kotor”.
Menurut
A.S. Hornby c.s., “corruption” ialah “the offering and accepting
”of bribes”, (pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap) di
samping diartikan juga “decay” yaitu kebusukan atau kerusakan. Yang
dimaksudkan dengan busuk atau rusak itu ialah moral atau akhlak oknum yang
melakukan perbuatan korupsi, sebab seseorang yang bermoral baik, tentu tidak
akan melakukan korupsi.
Dari
segi istilah, Hermien Hadiati mengemukakan bahwa “korupsi” berasal dari kata “corrupteia”
yang dalam bahasa Inggris berarti “bribery” atau “seduction”,
yang diartikan “corrupter” atau “seducer”. Dari kata “bribery”
tersebut kemudian dapat diartikan sebagai memberikan/ menyerahkan kepada
seorang agar orang tadi berbuat untuk/guna keuntungan (dari) pemberi. Sedangkan
yang diartikan dengan “seduction” ialah sesuatu yang menarik untuk membuat
seseorang menyeleweng.
Seduction ialah very attractive and
charming, likely to lead a person astray (but often with no implication of
immorality). Sedang “bribery” ialah promised to subject in order to get him to
do something (often something wrong) in favour of the giver.
Hermien
Hadiati Koeswadji menyimpulkan : dari dua kata terhadap arti “corrupteia”
tersebut menunjuk kepada sesuatu yang bersangkut paut dengan ketidakjujuran
seseorang dalam hubungannya dengan sifatnya yang menarik, atau demi untuk
keuntungan yang memberi (in favour, charming) bahkan yang bisa membuat
seseorang menyeleweng (likely to lead a person astray).
Menurut
Soedjono D, John A. Gardiner dan David J. Olson dalam bukunya berjudul : “Theft
of The City” Readings an Corruption in Urban America, berusaha memberi
arti umum tentang korupsi dari berbagai sumber
dengan pengelompokan sebagai berikut :
1. Yang dijelaskan dalam Oxford
English Dictionary untuk menjelaskan makna korupsi mengkategorikan dalam
tiga kelompok sebagai berikut :
a.
Secara fisik, misalnya perbuatan pengrusakan atau dengan sengaja menimbulkan
pembusukan dengan tindakan yang tidak masuk akal serta menjijikkan;
b. Secara moral, bersifat praktis yaitu
membuat korup moral seseorang atau bisa berarti fakta kondisi korup dan
kemerosotan yang terjadi dalam masyarakat;
c. Penyelewengan terhadap kemurnian,
seperti misalnya penyelewengan dari norma sebuah lembaga sosial tertentu, adat
istiadat dan seterusnya. Perbuatan ini tidak cocok atau menyimpang dari nilai
kepatutan kelompok pergaulan. Penggunaan istilah korupsi dalam hubungannya
dengan politik diwarnai oleh pengertian yang termasuk kategori moral.
2. Rumusan menurut perkembangan
ilmu-ilmu sosial; kelompok terbesar penulis ilmu-ilmu sosial mengikuti
rumusan-rumusan di atas atau mengambil salah satu bentuk kategori dasar yang
telah disebut. Dalam arti fisik, moral penyelewengan atau salah satu
daripadanya. Para ilmuwan sosial pada umumnya mengaitkan definisi mereka
tentang korupsi terutama ditujukan pada kantor pemerintahan (instansi atau
aparatur). Sedangkan kelompok yang
lebih kecil mengembangkan definisi yang berhubungan dengan permintaan dan
penawaran serta menekankan pada konsep-konsep yang mengambil dari teori-teori
ekonomi. Dan sebagian lagi membahas korupsi dengan pendekatan kepentingan
masyarakat;
3. Rumusan yang menekankan pada jabatan
dalam pemerintahan.
Definisi
korupsi yang berkaitan dengan konsep jabatan dalam pemerintahan dan
penyimpangan terhadap kaedah hukum dan etika pemegang jabatan yang
bersangkutan, dituliskan Baycley sebagai berikut : Perkataan korupsi dikaitkan
dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau
kekuasaan sebagai akibat adanya perkembangan dari mereka yang memegang jabatan
bagi keuntungan pribadi.
Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori
pasar. Perumusan arti korupsi dihubungkan dengan teori pasar yang dikembang
oleh para ahli antara lain : Jacob van Klaveren mengemukakan bahwa : Seorang
pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor
jawatannya sebagai suatu perusahaan dagang dimana pendapatannya akan diusahakan
semaksimal mungkin. Besarnya hasil yang diperoleh bergantung pada situasi pasar
dan kepandaiannya untuk menemukan titik hasil maksimal permintaan masyarakat.
Rumusan
yang berorientasi kepada kepentingan umum. Beberapa penulis cenderung untuk
menentukan korupsi sebagai konsep “demi kepentingan umum. Carl J. Friedrich
misalnya mempertahankan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang
pemegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti
seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya
yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang. Membujuk untuk mengambil langkah
yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian
benar-benar membahayakan kepentingan umum.
Perumusan
pengertian tentang korupsi sebagaimana yang telah terurai di atas menurut
Soedjono D, pada gilirannya mewarnai perumusan dalam Undang-Undang Pidana
Korupsi tertentu, sehingga sanksi hukumnya dapat diancamkan dan diterapkan
dalam penanggulangan korupsi negara yang bersangkutan.
Selanjutnya
Soedjono D mengemukakan bahwa, dari rumusan-rumusan tersebut tercermin bahwa : Korupsi
menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan kekuasaan dalam
jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan politik,
klik golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.
Penelusuran
makna korupsi lebih lanjut kita perhatikan dari uraian Syed Hussein Al Atas
dalam “The Sociology of Corruption”. Menurut Syed Hussein Al Atas seperti
halnya dengan semua gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan
dalam satu kalimat.
Oleh
Sayed Hussein Al Atas ciri-ciri korupsi diringkaskan sebagai berikut :
1.
Suatu
penghianatan terhadap kepercayaan
2. Penipuan
terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya.
3. Dengan
sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
4. Dilakukan
dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang- orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu;
5.
Melibatkan
lebih dari satu orang atau pihak;
6.
Adanya
kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain;
7. Terpusatnya
kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan
yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya;
8.
Adanya
usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum;
Dari segi tipologi,
korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis sebagai berikut :
1.
Korupsi
transaktif (transactive corruption)
Korupsi transaktif menunjukkan
kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli dan pihak penerima,
demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya
keuntungan ini oleh kedua-duanya.
2.
Korupsi
yang memeras (extortive corruption)
Korupsi yang memeras adalah jenis korupsi dimana pihak
pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam
dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
3.
Korupsi
investif (investive corruption)
Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada
pertalian langsung dari keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan
akan diperoleh di masa yang akan datang.
4.
Korupsi
perkerabatan (nepotistic corruption)
Korupsi perkerabatan atau nepotisme adalah penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam
bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan
norma dan peraturan yang berlaku.
5.
Korupsi
defensif (defensive corruption)
Korupsi defensif adalah perilaku
korban korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan
diri.
6.
Korupsi
otogenik (autogenic corruption)
Korupsi otogenik yaitu korupsi yang dilaksanakan oleh
seseorang seorang diri. Brooks mencetuskan subyek yang disebut “auto
corruption” adalah suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan
pelakunya hanya seorang saja.
7.
Korupsi
dukungan (supportive corruption)
Korupsi jenis ini tidak secara langsung menyangkut
uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain.
Tindakan-tindakan
yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Menurut
Syed Hussein Al Atas bahwa inti gejala korupsi selalu dari jenis pemerasan dan
transaktif. Korupsi selebihnya berkisar di sekitar kedua jenis tersebut dan
merupakan jenis sampingannya.
Jadi
korupsi yang menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi
bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum adalah korupsi di
bidang materiil.
Korupsi
pada pemilihan termasuk memperoleh suara dengan uang, janji-janji tentang
jabatan atau hadiah-hadiah khusus, pelaksanaan intimidasi dan campur tangan
terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan
suara-suara dalam legislatif, keputusan administratif atau keputusan
pengadilan, atau penetapan yang menyangkut pemerintahan.
Intellectual
Corruption
diterangkan sebagai :
- Seorang pengajar yang berkewajiban memberikan
pelajaran kepada murid namun ia
tidak memenuhi kewajibannya secara wajar; pegawai negeri yang selalu meninggalkan tugasnya tanpa
alasan;
- Memanipulasi
(membajak) hasil karya orang lain.
Baharuddin
Loppa, dalam menjelaskan beberapa jenis-jenis korupsi sebagai berikut :
1. Korupsi di bidang materiil, suatu
tindakan yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta
perbuatan-perbuatan lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara,
merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
2. Korupsi di bidang politik.
Dapat berupa/berwujud memanipulasi pemungutan suara dengan
cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan atau campur tangan yang dapat
mempengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga
legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif di bidang
pelaksanaan pemerintahan.
3. Korupsi ilmu pengetahuan ialah
memanipulasi ilmu pengetahuan dengan cara antara lain tidak memberikan
pelajaran yang wajar atau menyatakan (mempublisir) sesuatu karangan/ciptaan
ilmu pengetahuan atas namanya padahal adalah hasil ciptaan orang lain.
Berdasarkan
uraian di atas tentang jenis korupsi yaitu jenis korupsi materiil ialah korupsi
yang menyangkut penyuapan, memanipulasi di bidang keuangan/perekonomian negara,
manipulasi yang merugikan kesejahteraan rakyat pada umumnya adalah sebagaimana
yang diatur dan dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 a, b, c, d, e dan ayat 2
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jenis
tindak pidana korupsi materiil yang diuraikan di atas, tercakup dalam perumusan
Pasal 1 ayat 1 a, b, c, d dan e dan Pasal ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971.
1.
Pasal
1 ayat 1 a melawan hukum dalam ayat ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana yaitu “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau
“suatu badan. Perkataan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang
sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilan atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk
memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
2.
Pasal
1 ayat 1 b memuat sebagai tindak pidana unsur “menyalahgunakan kewenangan“ yang
ia peroleh karena jabatannya, dan unsur “secara langsung atau tidak langsung
dapat merugikan keuangan negara” serta dengan “tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan”.
3.
Pasal
1 ayat 1 c istilah korupsi dalam Undang-undang ini dipergunakan dalam arti yang
luas, termasuk Pasal-pasal KUHP dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi
(12 Pasal).
4.
Pasal
1 ayat 1 d mengancam dengan pidana seseorang yang memberikan hadiah kepada
pegawai negeri juga mengancam pidana seseorang yang memberi hadiah kepada
pegawai negeri.
5.
Pasal
1 ayat 1 e ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang
tidak melaporkan pemberian atau janji yang diperolehnya dengan melakukan tindak
pidana yang dimaksud pada Pasal 418, 419, 420 KUHP.
Apabila
tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan pelaporan itu
misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui tentang
peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan dapat melepaskan dari penuntutan
berdasarkan ayat e ini. Hal demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang
penerimaan pemberian/janji itu membebaskan terdakwa dari kemungkinan
penuntutan, apabila semua unsur dari tindak pidana dalam Pasal 418, 419, 420
KUHP terpenuhi.
1. Pasal 1 ayat 2 percobaan untuk
melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan
pidana sama dengan ancaman bagi tindak pidana yang telah selesai dilakukan.
Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi, yang sangat merugikan
keuangan/perekonomian negara, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan, sudah dapat dipidana penuh
sebagai suatu tindak pidana tersendiri.
Adapun
perumusan Tindak pidana korupsi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001
pada pasal-pasalnya sekaligus dicantumkan ancaman pidananya. Dalam pasal-pasal
di bawah ini hanya ditunjuk rumusan tindak pidananya dan dapat disebut tentang
jenis korupsinya adalah korupsi materiil.
Pasal 2 ayat 1 sebagai
berikut :
“Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara … “.
Pasal 2 ayat 2 sebagai berikut :
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 sebagai berikut
:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara … “.
Pasal
5 ayat 1 sebagai berikut :
Dipidana :
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dengan jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
2. memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 5 ayat 2 sebagai
berikut :
Bagi
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal
6 ayat 1 sebagai berikut :
Dipidana setiap
orang yang :
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.
2. Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri suatu pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal 6 ayat 2 sebagai berikut :
Bagi Hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7 ayat 1 sebagai berikut :
Dipidana :
1. Pemborong, ahli bangunan yang pada
waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
2. Setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang
dimaksud dalam huruf a;
3. Setiap orang yang pada waktu
menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
4. setiap orang yang bertugas mengawasi
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c;
Pasal 7 ayat 2 sebagai
berikut :
Bagi
orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8 sebagai berikut :
Dipidana :
Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9 sebagai berikut
:
Dipidana :
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi
tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi.
Pasal
10 sebagai berikut :
Dipidana :
Pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :
1. Menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
2. Membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.
Pasal 11 sebagai
berikut :
Dipidana :
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.
Pasal 12 sebagai berikut :
Dipidana :
1. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
2. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
3. hakim yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;
4. Seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili;
5. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
6. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kas umum tersebut mempunyai utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa
hal tersebut bukan merupakan utang;
7. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
8. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang
di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
9. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12 B ayat 1 sebagai berikut :
Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
ketentuan atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Yang nilainya Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
2. Yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pasal
12 B ayat 2 sebagai berikut : Dipidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal
13 sebagai berikut : Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana.
Pasal
14 sebagai berikut : Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang
yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 15 sebagai berikut : Setiap orang
yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal
16 sebagai berikut : Setiap orang di luar wilayah Negara
Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan
untuk terjadi tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 20 ayat 1 sebagai
berikut : Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya.
Pasal 20 ayat 2 sebagai
berikut : Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
Pasal
20 ayat 3 sebagai berikut : Dalam hal tuntutan pidana terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili
oleh pengurus.
Pasal
20 ayat 4 sebagai berikut : Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
Pasal
20 ayat 5 sebagai berikut : Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus
korporasi menghadap sendiri di pengadilan, dan dapat pula memerintahkan supaya
pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
Pasal 20 ayat 6 sebagai
berikut : Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 20 ayat 7 sebagai berikut : Pidana pokok yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum
pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar