Jumat, 14 Juni 2013

DEFENISI KORUPSI DAN JENIS KORUPSI

Definisi Korupsi dan Jenis Korupsi.
          Korupsi berasal dari perkataan bahasa latin “corruptio” yang berarti kerusakan atau kebrobokan. Di samping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang buruk. Korupsi juga banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.
      Soedjono D mengemukakan bahwa menurut “New World Dictionary of The American Language”, bahwa sejak abad pertengahan Inggris menggunakan kata “corruption” dan Perancis “corruption”. Kata korupsi mengandung arti :
-   Perbuatan atau kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk;
-   Perilaku yang jahat yang tercela atau kebejatan moral;
-   Kebusukan atau tengik;
-   Sesuatu yang dikorup, seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat         dalam satu kalimat;
-   Pengaruh-pengaruh yang korup.
       J.E. Sahetapy mengemukakan banyak istilah tentang korupsi di beberapa negara seperti di Muangthai “ginmoung”, yang berarti “makan bangsa”; “tanwu” istilah bahasa Cina yang berarti “keserakahan bernoda”. Jepang menamakannya “oshoku” yang berarti “kerja kotor”.
        Menurut A.S. Hornby c.s., “corruption” ialah “the offering and accepting ”of bribes”, (pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap) di samping diartikan juga “decay” yaitu kebusukan atau kerusakan. Yang dimaksudkan dengan busuk atau rusak itu ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seseorang yang bermoral baik, tentu tidak akan melakukan korupsi.
        Dari segi istilah, Hermien Hadiati mengemukakan bahwa “korupsi” berasal dari kata “corrupteia” yang dalam bahasa Inggris berarti “bribery” atau “seduction”, yang diartikan “corrupter” atau “seducer”. Dari kata “bribery” tersebut kemudian dapat diartikan sebagai memberikan/ menyerahkan kepada seorang agar orang tadi berbuat untuk/guna keuntungan (dari) pemberi. Sedangkan yang diartikan dengan “seduction” ialah sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng.
Seduction ialah very attractive and charming, likely to lead a person astray (but often with no implication of immorality). Sedang “bribery” ialah promised to subject in order to get him to do something (often something wrong) in favour of the giver.
     Hermien Hadiati Koeswadji menyimpulkan : dari dua kata terhadap arti “corrupteia” tersebut menunjuk kepada sesuatu yang bersangkut paut dengan ketidakjujuran seseorang dalam hubungannya dengan sifatnya yang menarik, atau demi untuk keuntungan yang memberi (in favour, charming) bahkan yang bisa membuat seseorang menyeleweng (likely to lead a person astray).
         Menurut Soedjono D, John A. Gardiner dan David J. Olson dalam bukunya berjudul : “Theft of The City” Readings an Corruption in Urban America, berusaha memberi arti umum tentang korupsi dari berbagai sumber  dengan pengelompokan sebagai berikut :
1. Yang dijelaskan dalam Oxford English Dictionary untuk menjelaskan makna korupsi mengkategorikan dalam tiga kelompok sebagai berikut :
a. Secara fisik, misalnya perbuatan pengrusakan atau dengan sengaja menimbulkan pembusukan dengan tindakan yang tidak masuk akal serta menjijikkan;
b.    Secara moral, bersifat praktis yaitu membuat korup moral seseorang atau bisa berarti fakta kondisi korup dan kemerosotan yang terjadi dalam masyarakat;
c.  Penyelewengan terhadap kemurnian, seperti misalnya penyelewengan dari norma sebuah lembaga sosial tertentu, adat istiadat dan seterusnya. Perbuatan ini tidak cocok atau menyimpang dari nilai kepatutan kelompok pergaulan. Penggunaan istilah korupsi dalam hubungannya dengan politik diwarnai oleh pengertian yang termasuk kategori moral.
2.  Rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial; kelompok terbesar penulis ilmu-ilmu sosial mengikuti rumusan-rumusan di atas atau mengambil salah satu bentuk kategori dasar yang telah disebut. Dalam arti fisik, moral penyelewengan atau salah satu daripadanya. Para ilmuwan sosial pada umumnya mengaitkan definisi mereka tentang korupsi terutama ditujukan pada kantor pemerintahan (instansi atau aparatur). Sedangkan kelompok yang lebih kecil mengembangkan definisi yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran serta menekankan pada konsep-konsep yang mengambil dari teori-teori ekonomi. Dan sebagian lagi membahas korupsi dengan pendekatan kepentingan masyarakat;
3.     Rumusan yang menekankan pada jabatan dalam pemerintahan.
       Definisi korupsi yang berkaitan dengan konsep jabatan dalam pemerintahan dan penyimpangan terhadap kaedah hukum dan etika pemegang jabatan yang bersangkutan, dituliskan Baycley sebagai berikut : Perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya perkembangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.
     Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar. Perumusan arti korupsi dihubungkan dengan teori pasar yang dikembang oleh para ahli antara lain : Jacob van Klaveren mengemukakan bahwa : Seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor jawatannya sebagai suatu perusahaan dagang dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin. Besarnya hasil yang diperoleh bergantung pada situasi pasar dan kepandaiannya untuk menemukan titik hasil maksimal permintaan masyarakat.
     Rumusan yang berorientasi kepada kepentingan umum. Beberapa penulis cenderung untuk menentukan korupsi sebagai konsep “demi kepentingan umum. Carl J. Friedrich misalnya mempertahankan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang pemegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang. Membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.
       Perumusan pengertian tentang korupsi sebagaimana yang telah terurai di atas menurut Soedjono D, pada gilirannya mewarnai perumusan dalam Undang-Undang Pidana Korupsi tertentu, sehingga sanksi hukumnya dapat diancamkan dan diterapkan dalam penanggulangan korupsi negara yang bersangkutan.
      Selanjutnya Soedjono D mengemukakan bahwa, dari rumusan-rumusan tersebut tercermin bahwa : Korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan politik, klik golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.
       Penelusuran makna korupsi lebih lanjut kita perhatikan dari uraian Syed Hussein Al Atas dalam “The Sociology of Corruption”. Menurut Syed Hussein Al Atas seperti halnya dengan semua gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat.
       Oleh Sayed Hussein Al Atas ciri-ciri korupsi diringkaskan sebagai berikut :
1.        Suatu penghianatan terhadap kepercayaan
2.       Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau  masyarakat         umumnya.
3.      Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan     khusus.
4.     Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang- orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu;
5.        Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak;
6.        Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau    yang lain;
7. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya;
8.        Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk          pengesahan hukum;
    Dari segi tipologi, korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis sebagai berikut :
1.        Korupsi transaktif (transactive corruption)
Korupsi transaktif menunjukkan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
2.        Korupsi yang memeras  (extortive corruption)
Korupsi yang memeras adalah jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
3.        Korupsi investif (investive corruption)
Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dari keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
4.        Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption)
Korupsi perkerabatan atau nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5.        Korupsi defensif (defensive corruption)
Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
6.        Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Korupsi otogenik yaitu korupsi yang dilaksanakan oleh seseorang seorang diri. Brooks mencetuskan subyek yang disebut “auto corruption” adalah suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang saja.
7.        Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi jenis ini tidak secara langsung menyangkut uang  atau imbalan langsung dalam bentuk lain.
       Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Menurut Syed Hussein Al Atas bahwa inti gejala korupsi selalu dari jenis pemerasan dan transaktif. Korupsi selebihnya berkisar di sekitar kedua jenis tersebut dan merupakan jenis sampingannya.
       Jadi korupsi yang menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum adalah korupsi di bidang materiil.
       Korupsi pada pemilihan termasuk memperoleh suara dengan uang, janji-janji tentang jabatan atau hadiah-hadiah khusus, pelaksanaan intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara-suara dalam legislatif, keputusan administratif atau keputusan pengadilan, atau penetapan yang menyangkut pemerintahan.
    Intellectual Corruption diterangkan sebagai :
    -     Seorang pengajar yang berkewajiban memberikan pelajaran kepada murid        namun ia tidak memenuhi kewajibannya secara wajar; pegawai negeri   yang selalu meninggalkan tugasnya tanpa alasan;
    -     Memanipulasi (membajak) hasil karya orang lain.
      Baharuddin Loppa, dalam menjelaskan beberapa jenis-jenis korupsi sebagai berikut :  
1.     Korupsi di bidang materiil, suatu tindakan yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
2.     Korupsi di bidang politik.
Dapat berupa/berwujud memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan pemerintahan.
3.     Korupsi ilmu pengetahuan ialah memanipulasi ilmu pengetahuan dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar atau menyatakan (mempublisir) sesuatu karangan/ciptaan ilmu pengetahuan atas namanya padahal adalah hasil ciptaan orang lain.
      Berdasarkan uraian di atas tentang jenis korupsi yaitu jenis korupsi materiil ialah korupsi yang menyangkut penyuapan, memanipulasi di bidang keuangan/perekonomian negara, manipulasi yang merugikan kesejahteraan rakyat pada umumnya adalah sebagaimana yang diatur dan dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 a, b, c, d, e dan ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
       Jenis tindak pidana korupsi materiil yang diuraikan di atas, tercakup dalam perumusan Pasal 1 ayat 1 a, b, c, d dan e dan Pasal ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
1.     Pasal 1 ayat 1 a melawan hukum dalam ayat ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana yaitu “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan. Perkataan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
2.     Pasal 1 ayat 1 b memuat sebagai tindak pidana unsur “menyalahgunakan kewenangan“ yang ia peroleh karena jabatannya, dan unsur “secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara” serta dengan “tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”.
3.     Pasal 1 ayat 1 c istilah korupsi dalam Undang-undang ini dipergunakan dalam arti yang luas, termasuk Pasal-pasal KUHP dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (12 Pasal).
4.     Pasal 1 ayat 1 d mengancam dengan pidana seseorang yang memberikan hadiah kepada pegawai negeri juga mengancam pidana seseorang yang memberi hadiah kepada pegawai negeri.
5.     Pasal 1 ayat 1 e ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang tidak melaporkan pemberian atau janji yang diperolehnya dengan melakukan tindak pidana yang dimaksud pada Pasal 418, 419, 420 KUHP.
        Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan pelaporan itu misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui tentang peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan dapat melepaskan dari penuntutan berdasarkan ayat e ini. Hal demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang penerimaan pemberian/janji itu membebaskan terdakwa dari kemungkinan penuntutan, apabila semua unsur dari tindak pidana dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP terpenuhi.
1.     Pasal 1 ayat 2 percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan pidana sama dengan ancaman bagi tindak pidana yang telah selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi, yang sangat merugikan keuangan/perekonomian negara, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan, sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.
        Adapun perumusan Tindak pidana korupsi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 pada pasal-pasalnya sekaligus dicantumkan ancaman pidananya. Dalam pasal-pasal di bawah ini hanya ditunjuk rumusan tindak pidananya dan dapat disebut tentang jenis korupsinya adalah korupsi materiil.
     Pasal 2 ayat 1 sebagai berikut :
“Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara … “.
Pasal 2 ayat 2 sebagai berikut :
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
     Pasal 3 sebagai berikut :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara … “.
    Pasal 5 ayat 1 sebagai berikut :
Dipidana :
1.     Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dengan jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
2.     memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
     Pasal 5 ayat 2 sebagai berikut :
       Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

      Pasal 6 ayat 1 sebagai berikut :
      Dipidana setiap orang yang  :
1.  Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
2.  Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri suatu pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal 6 ayat 2 sebagai berikut :
Bagi Hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7 ayat 1 sebagai berikut :
Dipidana :
1.  Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
2.  Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang dimaksud dalam huruf a;
3.     Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
4.     setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c;
     Pasal 7 ayat 2 sebagai berikut :
       Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8 sebagai berikut :
Dipidana :
        Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
     Pasal 9 sebagai berikut :
     Dipidana :
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
     Pasal 10 sebagai berikut :
     Dipidana :
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :
1.     Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
2.     Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
     Pasal 11 sebagai berikut :
     Dipidana :
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.
Pasal 12 sebagai berikut :
Dipidana :
1.     Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2.     Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
3.     hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
4.     Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
5.     Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
6.     Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
7.     Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima pekerjaan, atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
8.     Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
9.     Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
 Pasal 12 B ayat 1 sebagai berikut :
        Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan ketentuan atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
1.     Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
2.     Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
     Pasal 12 B ayat 2 sebagai berikut : Dipidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
      Pasal 13 sebagai berikut : Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana.
     Pasal 14 sebagai berikut : Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
     Pasal 15 sebagai berikut : Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
     Pasal 16 sebagai berikut : Setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadi tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
     Pasal 20 ayat 1 sebagai berikut : Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
    Pasal 20 ayat 2 sebagai berikut : Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
     Pasal 20 ayat 3 sebagai berikut : Dalam hal tuntutan pidana terhadap suatu      korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
     Pasal 20 ayat 4 sebagai berikut : Pengurus yang mewakili korporasi   sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
     Pasal 20 ayat 5 sebagai berikut : Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan, dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
     Pasal 20 ayat 6 sebagai berikut : Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 20 ayat 7 sebagai berikut : Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

4.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar