Berbagai sisi kajian telah banyak dilakukan
orang untuk menanggapi persoalan korupsi, hasil kajian tersebut baik secara
langsung atau tidak, telah membentuk opini publik dengan berbagai versinya.
Dasar pijakan teoritisnya pun sangat beragam, mulai dari landasan moral, hukum
positif, hukum internasional sampai pada hukum Islam.
Namun
sangat disayangkan, sejauh ini belum ada suatu kajian dalam perspektif hukum
Islam yang dapat dikatakan konstruktif dan komprehensif. Padahal kajian seperti
ini sangat ditunggu-tunggu umat, agar mereka tidak terus larut dalam opini yang
tidak ber-hujjah.
Tulisan
ini mencoba membangkitkan kesadaran kita untuk menjawab tantangan ini, dengan
mengutip khazanah Islam klasik penulis mencoba mengulas persoalan korupsi dari
sisi hukum Islam. Tulisan ini menggelitik nurani kita pada essensi mashlahat
syar`î sebagai standar dalam memaknai hukum Islam, bukan mashlahat yang diukur
dengan logika manusia. Sebagai manusia kita memang cenderung mengedepankan
rasionalitas dan mengagungkan akal, lalu bagaimana kita dapat menyelami nilai
mashlahat syar`î?
Walaupun
tulisan ini, menurut penulis jauh dari kesempurnaan, dikarenakan perkara
korupsi adalah perkara yang mencakup banyak sisi dan persoalan, namun semoga
tulisan yang singkat ini dapat memberikan konstribusi (pemahaman) kepada
masyarakat tentang hukum korupsi dan koruptor dalam tinjauan fiqih Islam.
Dengan mengutip salah satu kaidah ushul fiqih yang berbunyi ‘sesuatu yang
tidak bisa terpenuhi garis besarnya maka jangan ditinggalkan keseluruhannya’
semoga tulisan ini bermanfaat.
Korupsi
sangat merakyat dalam masyarakat kita, hal ini tergambar dari membuminya
istilah uang minum, pelicin, biaya administrasi dan banyak lagi istilah lainnya
yang sebenarnya tergolong dalam pungutan liar. Masyarakat juga sudah sangat
paham, jika berurusan dengan kantor publik “tips” tambahan itu dapat
mempersingkat waktu dalam pengurusan berbagai hal. Bahkan tanpa “tips”, urusan
singkat pun bisa molor tak karuan.
Banyak
pihak yang merasa terpanggil untuk memberikan sumbangsih dalam mengatasi persoalan
korupsi ini. Namun kebanyakan mereka kehabisan energi sebelum upayanya
memperoleh hasil. Seringkali faktor kesejahteraan menjadi kambing hitam guna
menjustifikasi fenomena ini. Namun masalah sebenarnya adalah “krisis rasa
sejahtera” di kalangan pengelola layanan publik. Seseorang tidak akan pernah
kaya selama jiwanya masih miskin, tidak akan pernah cukup selama jiwanya tidak
cukup pintar bersyukur.
Kemiskinan
jiwa pengelola sektor layanan publik cukup nyata terlihat dalam penanganan
korban gempa dan tsunami beberapa waktu lalu. Saat bantuan datang, mereka
berlomba-lomba menyatakan bahwa dirinyalah yang paling membutuhkan bantuan itu.
Sehingga ada yang mendahului mengambilnya sebelum dibagi, tentunya oleh mereka
yang memegang wewenang penyaluran bantuan itu. Akibatnya, mereka yang tertimpa
musibah terus menahan derita dan lapar.
Korupsi
adalah penyakit kronis yang melanda bangsa ini, sampai hari ini telah
diupayakan berbagai cara untuk mengobatinya namun belum ada yang menunjukkan
hasil. Sebagian orang memandangnya sebagai penyakit sosial yang bersumber dari
moral, dan berasumsi bahwa hanya dengan sanksi hukum terberat baru dapat
disembuhkan. Ada juga yang mengaitkan dengan tinggi rendahnya semangat
keberagamaan para pelakunya, lalu diperlihatkan lah kenyataan bahwa di Negara
yang muslimnya dominan, justru korupsinya lebih parah.
Bahkan
beberapa waktu yang lalu sebuah Departemen Pemerintahan yang Mengatur Tentang
Urusan Agama dinobatkan sebagai Lembaga Terkorup. Tentunya setiap orang bebas berasumsi,
namun haruslah menempatkan permasalahan secara proporsional, tidak profokatif,
tidak terlalu cepat berkesimpulan. Apalagi jika telah masuk dalam wilayah hukum
Islam, kita tidak boleh berlepas diri dari segala kaedah yang mengikat
penafsiran.
Dalam
literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan korupsi, namun
korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal (ma’shiyat) dalam konteks
risywah (suap), saraqah (pencurian), al-ghasysy (penipuan), dan khiyânah
(pengkhianatan). Dalam analisis fenomenologis, menurut S.H. Alatas, korupsi
mengandung dua unsur penting yaitu penipuan dan pencurian. Apabila bentuknya
pemerasan itu berarti pencurian melalui pemaksaan terhadap korban.
Apabila
berbentuk penyuapan terhadap pejabat itu berarti membantu terjadinya pencurian.
Jika terjadi dalam penentuan kontrak, korupsi ini berarti pencurian keputusan
sekaligus pencurian uang hasil keputusan itu.
Namun dalam konsepsi hukum Islam sangat sulit untuk mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai delik sirqah (pencurian).
Namun dalam konsepsi hukum Islam sangat sulit untuk mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai delik sirqah (pencurian).
Hal
ini disebabkan oleh beragamnya praktek korupsi itu sendiri yang umumnya tidak
masuk dalam definisi sariqah (pencurian). Namun jika dalam satu kasus tindak
pidana korupsi telah sesuai dengan ketentuan sariqah, maka tidak diragukan lagi
ia terkena ketentuan hadd sariqah dan pelakunya dikenakan hukum potong tangan.
Sayyid
Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengkategorikan bahwa jika
seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari
tempatnya (hirz mitsl) maka itu dikategorikan sebagai pencurian, jika ia
mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, maka dinamakan merampok
(muhârabah), jika ia mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet
(ikhtilâs), dan jika ia mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan
khiyânah.
Namun
mayoritas ulama Syafi’iyyah lebih cenderung mengkatagorikan korupsi sebagai
tindak pengkhianatan, karena pelakunya adalah orang yang dipercayakan untuk
mengelola harta kas negara. Oleh karena seorang koruptor mengambil harta yang
dipercayakan padanya untuk dikelola, maka tidak dapat dihukum potong tangan.
Dalam
konteks ini, `illat hukum untuk menerapkan hukum potong tangan tidak ada. Dari
pembahasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam perspektif fuqaha Syafi’iyah,
tindak pidana korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian. Karena tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam sirqah. Korupsi hanya dapat
dikategorikan sebagai tindakan pengkhianatan.
Lebih
lanjut dijelaskan korupsi secara kasuistik (menurut madzhab Syafi’iyyah) lebih
tepat dikatagorikan dalam Pengkhianatan Terhadap Harta atau dalam istilah fiqih
disebut dengan Ghulul.
Imam
Asy-Syafi`i pernah ditanyai tentang kasus seseorang yang mengambil harta
pampasan perang (ghanîmah) sebelum dibagikan. Imam Asy-Syâfi`i menjawab, bahwa
orang tersebut tidak dipotong tangannya, tetapi harga barang itu (Al-Qimah)
menjadi hutang baginya jika barangnya telah dihabiskan atau rusak sebelum
dikembalikan. Jika orang yang mengambil itu jâhil (tidak tahu keharamannya),
maka harus diberitahukan dan tidak boleh disiksa, kecuali –baru disiksa- jika
ia mengulangi kembali perbuatannya.
Dasar
hukum yang digunakan Imam Asy-Syâfi’î adalah suatu riwayat ketika Umar ibn
Al-Khaththab mencurigai salah seorang shahabat. Ketika itu salah seorang dari
kelompok musyrikin yang sedang diperangi (dikepung) bernama Hurmuzan turun
menemui Umar. Dalam dialognya dengan Umar, kata-kata Hurmuzan meyebabkan
kemarahan Umar sehingga hendak dibunuh, lalu shahabat yang mendampingi Hurmuzan
turun membela Hurmuzan agar tidak dibunuh.
Pada
saat itu Umar curiga kalau shahabat tersebut telah menerima suap dari Hurmuzan,
Umar mengancam akan menghukum siksa (Al-`Uqûbah) sahabat tersebut kalau ia
tidak sanggup menghadirkan saksi. Kemudian ia mencari orang yang akan bersaksi
bahwa tidak menerima sesuatu pun dari Hurmuzan, akhirnya ia mendapatkan Zubayr
ibn Al-Awâm yang bersedia menjadi saksinya.
Dari
`illat hukum di atas, maka penalaran yang digunakan adalah sulitnya dilakukan
penelusuran kembali. Karena pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka
sangat sulit untuk ditelusuri, oleh karena itu perlu ditetapkan hukum yang
dapat mencegah orang untuk melakukannya. Berbeda dengan copet, rampok dan
khianat, pelakunya dapat dikenali dan mudah ditelusuri kembali, di samping itu
juga dilakukan secara terang-terangan sehingga cenderung lebih mudah ditumpas
saat mereka melakukan aksinya.
Selanjutnya
korupsi juga bisa dikatagorikan dalam penipuan yang dalam istilah fiqihnya
disebut dengan Al-Ghasysy. Karena dalam tindak pidana korupsi, penipuan
merupakan bagian yang tidak terpisah darinya, manipulasi data, buku, daftar dan
sebagainya adalah termasuk tindak penipuan.
Sebagaimana
telah dipaparkan di atas bahwa tindak pidana korupsi menurut mayoritas ulama
Syafi’iyyah dikatagorikan dalam Al-Ghulul (pengkhianatan terhadap harta yang
diamanahkan) dan Al-Ghasysy (penipuan) maka secara substansinya korupsi
dikembalikan pada hukum Al-Ghulul dan Al-Ghasysy itu sendiri.
A. Hukum Al-Ghulul
Berkaitan dengan masalah al-ghulul, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat
dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa
yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran: 161)
Menurut
para mufassirin ayat ini turun pada perang Badar, disebabkan ada sebagian
shahabat yang berkhianat dalam masalah harta perang. Dalam sebuah hadits yang
shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal
tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di
lehernya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan
masih lainnya yang menjelaskan tentang keharaman ghulul dan ancaman yang berat
bagi para pelakunya pada hari kiamat. Mengenai hukuman bagi pelaku Al-Ghulûl
(berkhianat dengan mengambil harta ghanîmah sebelum dibagikan), Imam
Asy-Syâfi’î pernah ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan
berjalan kaki, dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya. asy-Syâfi’î
menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb)
seseorang pada hartanya, tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan
Al-Hudûd pada badan, demikian pula Al-`Uqûbât (sanksi), adapun atas harta maka
tidak ada `uqûbah atasnya.
Jenis-jenis
hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan
yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau
dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh
kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan
hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain
dengan penjara sampai mati (seumur hidup).
B. Hukum Al-Ghasysy
Berkaitan
dengan masalah penipuan (al-ghasysy), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Barangsiapa yang menipu maka
dia bukanlah dari golongan umatku.” (HR. Muslim dan yang lainnya).
Semoga
Allah Swt menyelamatkan kita dari tindakan korupsi di dunia ini, serta
menyelamatkan kita dari siksaan-Nya pada hari kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar