Senin, 17 Juni 2013

CARA PENANGGULANGAN KORUPSI

       Ada satu ungkapan yang sangat bernilai, akan tetapi terkesan sinis dari Jenderal Besar Abdul Haris Nasution semasa hidupnya, berkata : bahwa musuh Negara yang paling ditakuti bukanlah PKI atau terorisme, melainkan kemunafikan. Ungkapan tersebut di atas ada benarnya dimasa itu, karena korupsi belum menjadi perhatian pemerintah sekalipun UU No. 3 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi sudah ada, akan tetapi penanganan korupsi di masa itu seperti gayung tidak bersambut, dan korupsi tampaknya bukanlah barang haram, namun bila dimasa itu kemunafikan merupakan musuh negara, maka sangatlah tepat bila saat ini musuh negara yang paling berbahaya adalah korupsi yang di dalamnya ada kemunafikan.
     Power tends to corrupt (kekuasaan cenderung untuk berbuat korupsi) satu ungkapan di dalam tataran ilmiah yang kaitannya dengan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan menjadi faktor utama terjadinya korupsi, disamping adanya faktor lain seperti nepotisme dan kolusi. Jika abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi, dapat dianalogkan bahwa kekuasaan identik dengan korupsi.
       Sebenarnya korupsi dapat terjadi di semua lini birokrat (penyelenggara negara), jika akal budi tidak bekerja dengan baik untuk merespon keseimbangan hukum, dalam rangka melahirkan ketertiban dan keadilan. Manakala ketertiban dan keadilan telah terabaikan, inspirasi dan intuisi akanberontak untuk menyuarakan keadilan hingga gerbong keadilan dapat dirasakankembali oleh masyarakat secara layak sebagai kebahagiaan hukum.
     Terkait dengan hal yang terurai di atas, maka satu pemikiran dari Sudiman Kartohadiprojo, seorang filsuf dan pakar hukum Indonesia, yang pada awalnya bangga dengan pemikiran para guru besarnya di Belanda yang memberikan tempat pada kolonialisme yang seolah-olah menampilkan keadilan di dalamnya. Pemberontakan yang dilakukan oleh Sudiman Kartohadiprojo terhadap sistem hukum Belanda yang memberikan tempat kolonialisme yang seolah-olah menampilkan keadilan di dalamnya bertolak belakang dengan pancasila dan sisi kehidupan masyarakat Indonesia.
       Jika saat ini korupsi dapat dikatakan bagian dari pada kolonialisme birokrat dan menjalar menembus kekuasaan yang suci, strategi yang ditawarkan untuk mengatasi prilaku korupsi tersebut, hanyalah sebuah gerakan energi hukum yang di dalamnya berisi daya dorong dan dobrak untuk membangkitkan hukum agarbekerja dan penyadaran diri manusia itu sendiri, serta melepaskan kehidupan yangegois.
     Jika tampilan-tampilan egois tersebut sulit dihilangkan di dalam tataran birokrat, tidak menutup kemungkinan korupsi akan selalu berkembang.Maka berbicara tentang korupsi tidak lepas dari hal yang bersifat ego dan dalam penanganannya dibutuhkan kebersamaan untuk merubah yang keliru menjadi yang benar. Perlu diketahui bahwa untuk menanggulangi korupsi di Indonesia dewasa ini sudah dilakukan dengan cara-cara ekspsional (extra ordinary measures).
   Jika saat ini lembaga khusus yang independen telah dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus, untuk menangani korupsi, bukan berarti lembaga Polri dan Kejaksaan lepas tanggungjawab, melainkan harus bersatu padu untuk memberantasnya.
     Namun meskipun demikian, dalam suatu negara hukum, lembaga khusus dengan kewenangan-kewenangan khususnya harus tetap berkiprah dalam koridor hukum, jadi harus tetap adil dan terkendali berdasarkan hukum yang berlaku. Keberadaan Pengadilan Tipikor saat ini, dapat mewadahi peradilan yang fair, objektif dengan tampilan hakimnya memiliki integritas yang tinggi dan sungguh-sungguh dibekalidengan pengetahuan tentang makna dan praktek korupsi secara mendalam.
      Tentunya untuk menjamin independensinya sebagai sebuah pengadilan tipikor, maka eksistensinya harus terlepas dari kepentingan apapun, selain kepentingan penegakan hukum, yang menjamin berlangsungnya “due process of law”. Jika eksistensi lembaga-lembaga yang mempunyai kekuasaan yang demikian besar itu kelak menghasilkan putusan-putusan hukum yang tidak adil dan menimbulkan akibat-akibat yang lebih buruk bagi hukumdan keadilan, hendaknya selalu diingat apa yang pernah dikatakan oleh Francis Bacon bahwa“... there is no worse torture than the torture of laws.” (tidak ada penyiksaan yang lebih burukdibanding penyiksaan terhadap hukum). Demikian juga Samuel S. Leibowitsz mengatakan : “ I hear many people calling out ‘Punish the Guilty’, but very few are concerned to clear the innocent.” Untuk para koruptor, secara mutatis mutandis, kita dapat berkata : “Banyak atau semua orang berseru “Hukum para koruptor, bahkan hukum seberat mungkin dan jika perlu hukum mati.
        Namun sangat sedikit orang yang mengatakan : “Bebaskan atau jangan hukum orang yang tidak bersalah”.Jika kejahatan korupsi sulit untuk diberantas oleh pemerintah (penegak hukum) berarti ada sesuatu yang salah di dalam Pemerintah, atau dapat dikatakan hukum tidak bekerja. Tidakbekerjanya hukum, karena penegak hukum belum memaksimalkan upaya penegakan hukumterhadap kejahatan korupsi yang sering kali di sebut Extra Ordinady Crime.
      Undang-undang No. 31 tahun 1999 dan perubahannya Undang-undang No. 20 tahun 2002, dan Inpres No. 5 tahun 2004, merupakan hukum positif yang dijadikan dasar oleh para penegak hukum dalam rangka melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
     Jika kita sadari bahwa ke 2 (dua) UU tersebut dengan ancaman yang sangatberat khususnya pasal 2 ayat (2) yang menyatakan dalam hal tindak pidanakorupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) dilakukan dalam keadaantertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Artinya bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku korupsi dapat dijatuhkan hukuman mati sebagaibagian dari penegakan hukum.
    Pertanyaannya mengapa korupsi menjadi idola? sedangkan sanksi hukumnya sudah sangat berat ditambah lagi stetmen dari pemerintah bahwa pelaku korupsi harus dimiskinkan, tentu jawabannya yang paling radikal adalah bahwa korupsi dapat memperkaya / menguntungkan diri sendiri atau pihak lain atau korporasi (isi pasal 2 dan pasal 3), sehingga resiko sebesar apapun yang akan dihadapi menjadi suatu hal yang lumrah tampaknya dan bagi mereka yangberpikiran demikian perlu dipertanyakan jati dirinya sebagai anak bangsa.
       Bertitik tolak apa yg telah uraikan di atas, berbicara tentang peranan kepolisian dalam pemberdayaan aspek hukum dan moral pada pencegahan TPK, maka untuk menghindari penyalahgunaan di dalam pelaksanaan tugas tentu membutuhkan acuan dan konsep-konsep yg sifatnya umum dan tdk sulit dilaksanakan seperti di bawah ini :
1. Membuat Standar Operasional Penyidikan (SOP), sebagai acuan di dalam melakukan penyidikan untuk menghindari kesewenang-wenangan.
2. Dalam proses penyidikan, selalu mengedepankan azas equility before the law disamping azas presumption of innocent.
3. Membuka jaringan dengan swadaya masyarakat yang care terhadap pemberantasan korupsi.
4. Kerjasama dengan BPKP dan BPK dalam hal audit investigatif maupun audit    perhitungan kerugian negara.
5. Kerjasama dengan Perguruan Tinggi Negeri seperti ITB untuk pengujian fisik bangunan, jembatan dan DAM.
6. Kerjasama dengan Lembaga LKPP.
7. Kerjasama dengan Lembaga PPATK.
8. Kerjasama dengan Perbankan.
9. Kerjasama dengan Kejaksaan.Disamping tugas sebagai penegak hukum    seperti yang telah di uraikan di atas, dalam konteks penyadaran hukum        yang telah dilakukan berbagai upaya atau langkah-langkah seperti :
1. Seminar tentang bekerjasama dengan kampus.
2. Melalui pendidikan (Pra Jabatan) di berbagai even terhadap Birokrat    (para pejabat) di berbagai Pemda.
    3. Pemasangan spanduk, stiker.
    4. Kerjasama dengan pemuka agama.
    5. Kerjasama dengan Campus dan sekolah-sekolah.
    6. Kerjasama dengan BPK dan BPKP.
    7. Kerjasama dengan para Pimpinan Birokrat.
    8. Kerjasama dengan Lembaga Criminal Justice System.
        Jika berbagai upaya tersebut telah dilakukan, akan tetapi dampaknya belum dapat menurunkan prilaku korupsi ke level yang ideal (harapan zero crime Corrupt). Indikasi prilaku koruptif selalu muncul, menunjukkan bahwa prilaku koruptif bukan lagi persoalan moral, melainkan sudah menjadi persoalan hajat hidup sebagai alasan utama, sekalipun resiko hukum sangat berat untuk dihadapi.
     Begitu banyaknya korupsi yang terjadi di Indonesia dan terkesan penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan tidak berjalan dan tidak mampu untuk memberantasnyakarena terkendali dengan faktor-faktor adminstratif dengan lembaga terkait lainnya, campurtangan kekuasaan dan politik, maka untuk memacu kinerja kedua lembaga penegak hukumtersebut agar bekerja, kehadiran KPK dengan undang-undangannya No. 30 tahun 2002 dikandung maksud untuk dapat menerobos semua problem yang diuraikan di atas danhasilnya dapat di lihat saat ini walaupun masih banyak komentar dari berbagai kalangan.
    Keberadaan lembaga KPK saat ini, diharapkan sebagai triger dan filar penegakan hukum (law enforcement) khususnya terhadap kejahatan korupsi, dan menjadi daya dorong, dan pendobrak untuk meredam prilaku koruptif yang telah meraja lela di berbagai sektor di lingkungan Birokrat.Banyak sudah hasil kerja KPK, Kejaksaan dan Kepolisian yang telah menyeret PimpinanBirokrat, dan telah diadili di pengadilan tipikor maupun di Pengadilan Umum denganhukuman yang sangat bervariatif.
    Karya profesi dibidang penyidikan yang di tampilkan KPK, Kepolisiaan, Kejaksaan sebenarnya jika dihitung dari sisi matematika, sudah dapat mempresentasikan tingkat penegakan hukumyang memadai, artinya bahwa di era reformasi sekarang ini tidak ada lagi pejabat yang kebal hukum jika dibanding sebelum era reformasi.
       Akan tetapi tampaknya kesadaran hukum para pejabat publik sepertinya masih belum berubah untuk patuh terhadap hukum. Memang sangat ironis bahwa sebuah negara yang berlandasan hukum, kepatuhan masyarakatnya, pejabatnya tidak mencerminkan sikap yang patuh hukum, apakah hal ini merupakan pertanda bahwa hukum belum menjadi idola dan panglima seperti yang dicita-citakan oleh hukum.
      Disamping itu bahwa sistem Pemerintahan kita yang dibangun dengan berbagai perundang-undangan termasuk di dalamnya UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dan inpres No. 5 tahun 2004 tentang percepatan penanganan Tindak Pidana Korupsi, tidak membuat prilaku koruptif berkurang dan nampaknya terus bertambah.
     Secara statistik, bahwa Indonesia menempati urutan paling buruk di banding negara-negara lain di Asean tingkat korupsinya, hal itu menggambarkan bahwa pemerintah tidak dapat memberantas para pelaku koruptif secara tuntas, walaupun dari data yang dapat kita lihat dari tahun ke tahun, penegakan Tindak Pidana Korupsi semakin gencar dilakukan, bahkan supor secara langsung dari Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu kesempatan pidatonya di Istana Negara menyatakan, bahwa untuk melawan korupsi Presiden telah menghunus pedang, artinya pernyataan Presiden tersebut sebagai bukti bahwa kejahatan korupsi sudah merupakan musuh utama negara maka diperintahkan seluruh perangkat pemerintahan harus ikut serta untuk bahu membahu memberantas dan mencegahnya.
    Fakta yang dapat kita lihat, bahwa perkataan Presiden sepertinya belum maksimal di dengar oleh para birokrat di negara ini dan tidak membuat takut para pejabat birokrat, hal itu dapat kita lihat secara gamblang, prilaku seorang Gayus Haloman Tambunan seorang pejabat di Departemen Keuangan dengan pangkat golongan III.a memiliki uang puluhan milyar rupiah dibeberapa rekening Bank, yang diduga diperoleh dari cara-cara melanggar hukum, kemudian perkaranya disidik oleh penyidik Polri dan dilimpahkan ke Kejaksaan dan di sidangkan di Pengadilan Negeri Tanggerang dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanggerang, saudara Gayus Haloman Tambunan di bebaskan.
      Timbul banyak pertanyaan terkait dengan putusan bebas tersebut, dan menyeret beberapa pejabat publik baik dilingkungan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai bukti bahwa hukum tidak bekerja sebagaimana mestinya artinya hukum diselewengkan (ultravires).
       Contoh kasus di atas, menggambarkan bahwa mafia hukum sudah menyebar dan mengakar dalam penyelesaian kasus korupsi. Uang menjadi dewa sebagai kebenaran pragmatik dengan menampilkan seolah-olah yang rasionalitas, akan tetapi kepastiannya palsu.
    Jika kita melihat kebelakang istilah mafia sebenarnya sudah ada di dalam lingkaran kejahatan puluhan tahun yang lalu di negara Itali, dengan sebutan mafioso terhadap kartel perdagangan narkoba, dan jika di Asean dikenal dengan negara segitiga emas (Thailand, Kamboja dan Burma). Sehingga jika sekarang istilah mafia hukum jadi bahan berita di berbagai media massa dan elektronik, menandakan dan memperlihatkan bahwa hukum telah dimasukin oleh para mafia, dan untuk memberantas itu Pemerintah akhirnya membentuk satgas anti mafia hukum dan peradilan.
       Memang sungguh sangat ironis bahwa Menurut hemat dan pandangan penulis /prilaku koruptif yang radik telah melahirkan pemateri, dibutuhkan satu terobosan baru fenomena kemiskinan bagi rakyat Indonesia untuk mengatasinya walaupun sifatnya dan akibatnya pembangunan di berbagai teoritis dan konseptual yaitu tentang energi sektor terbengkalai, ketahanan ekonomi hukum yang dalam kontek pengertiannya terganggu dan bahkan stabilitas keamanan adalah daya batiniah dan nurani untuk terancam lumpuh karena para mafia hukum mendobrak dan mendorong praksis-praksis telah jadi penentu di dalam kebijakan pejabat hukum, agar hukum senantiansa efektif public. Dalam mewujudkan cita hukum, terutama ketika hukum terancam lumpuh.
      Pemahaman teoritis dan konseptual Gerakan energi hukum telah ampuh tersebut di dalam aplikasinya adalah memutar balikkan satu fakta penanganan tumbuhnya gerakan moral yang tidak kasus yang menimpa Prita Mulyasari sektoral akan tetapi bersifat nasional untuk seorang Ibu Rumah Tangga yang harus melawan praktek-praktek nepotisme dan berhadapan dengan peradilan yang kolusi di dalam pelaksanaan hukum agar diciptakan yang seolah-olah rasionalitas hukum bekerja sesuai tatarannya dan tidak pembenarannya dan akan melahirkan kalah dari kekuasaan yang sifatnya kepastian yang palsu.
      Gerakan energy pragmatik (menguntungkan diri sendiri dan hukum dengan cara lahirnya empati dari kelompok). Seluruh komponen lapisan masyarakat dari kalangan atas dan bawah dengan menyumbangkan coin per coin uangnya menjadi simbol lahirnya gerakan energi hukum yang bernurani dan gerakan tersebut akhirnya membuahkan hasil yang sangat mencerminkan rasa keadilan bagi Prita Mulyasari dan kemenangan bagi keadilan.
      Kalau demikian apa yang harus kita lakukan menuju Indonesia tanpa korupsi? Sebenarnya banyak hal :
1. Bahwa kemunafikan harus dilepaskan dari diri pribadi orang perorangan.
2.  Bahwa law enforcement merupakan harga mati tetapi tetap   mengedepankan berhukum degan nurani.
3.  Bahwa kebersamaan untuk mencapai permufakatan di dalam kehidupan      masyarakat harus tumbuh untuk mencegah terjadinya kolusi, nepotisme yang melanggar hukum, dan hukum yang hidup di masyarakat (living       law)   harus          tumbuh selalu mengoreksi prilaku yang menyimpang dan     mengedepankan akal budi yang bersahaja.
4. Kesadaran hukum masyarakat harus di eksplor (digali), untuk mewujudkan      manusia yang cinta akan cita hukum (keadilan, kepastian hukum dan      kemanfaatan hukum).
5. Para akademisi, harus memberikan ilmu yang berarti bagi anak didiknya yang akan tumbuh dan menjelma menjadi tunas-tunas bangsa sebagai        generasi penerus, sehingga prilaku koruptif menjadi hal yang menjijikan dalam jiwanya.
6.  Para tokoh masyarakat, tokoh agama, praktisi dan organ- organ    kemasyarakatan harus berperan aktif untuk memberikan kontribusi peningkatan moral dan akhlak, sehingga jiwa radik koruptif tdk mengakar     dalam kehidupan masyarakat.
7. Kaum wanita juga harus berperan aktif untuk menjaga moralitas kaum    bapak yang menduduki jabatan sebagai pejabat publik, tidak menampilkan sikap yang konsumtif yang dapat merubah jiwa yang baik kaum bapak    menjadi jiwa yang radik hanya untuk memenuhi kebutuhan.
        Marilah kita bercermin dari pengalaman-pengalaman kehidupan bernegara di masa lalu, yang memporak- porandakan hukum di jagad kehidupan, karena bagaimanapun bahwa hukum itu akan selalu mengiringi kehidupan manusia dimanapun dia berada seperti yang diungkapkan oleh para pakar penstudy ilmu hukum yaitu ubi societes ibi ius, artinya dimana manusia berada maka disitu ada hukum atau manusia itu adalah hukum karena manusia sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.
    Jika manusia adalah hukum, maka manusia yang lain tidak boleh menghancurkan kehidupan manusia disekitarnya karena prilaku koruptif yang ditampilkan, artinya seberat apapun sisi kehidupan manusia maka sebaiknya tidak mengorbankan manusia yang lain untuk memenuhi kehidupannya, karena manusia butuh kehidupan yang layak, sejahtera dan tentunya mengharapkan adanya kebahagiaan hukum di dalam kehidupannya.
       Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.        Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
• Pendekatan pada sebelum perbuatan korupsi terjadi
• Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi
• Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi
        Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :
1.        Strategi Preventif.
        Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2.   Strategi Deduktif.
        Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat.
        Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat, memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
        Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara terintregasi.
          Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara lain :
1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2.  Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi.
     Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3.  Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
5.  Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.

PENYEBAB KORUPSI

     Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan sistem politik, reformasi ekonomi, sampai reformasi birokrasi menjadi agenda utama di negeri ini. Yang paling sering dikumandangkan adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam instansi pemerintah.
       Reformasi birokrasi ini pada umumnya, diterjemahkan oleh instansi-instansi pemerintah sebagai perbaikan kembali sistem remunerasi pegawai. Anggapan umum yang sering muncul adalah dengan perbaikan sistem penggajian atau remunerasi, maka aparatur pemerintah tidak akan lagi melakukan korupsi karena dianggap penghasilannya sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya. Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah dapat dinilai tinggi.
       Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat pemerintah terus terjadi, sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
      Seperti yang telah dijelaskan di atas, pengkajian ulang remunerasi pegawai yang meningkatkan jumlah gaji mereka terbukti tidak menurunkan tingkat korupsi seperti yang diharapkan. Salah satu hal yang menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya moral dan kesadaran masyarakat mengenai korupsi itu sendiri.
    Masyarakat menganggap korupsi sebagai suatu hal yang biasa sebab tanpa disadari, kita sudah terbiasa melakukan korupsi. Misalnya saja dalam penyediaan alat tulis kantor, pegawai terbiasa mengambil uang yang tersisa dari dana yang disediakan. Padahal sesungguhnya dana tersebut harus dikembalikan pada organisasi.
      Akibat adanya kebiasaan korupsi ini, pemberantasan korupsi di Indonesia sangat sulit dilakukan. Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan cara mengubah kebiasaan masyarakat sejak dini dan menanamkan paradigma bahwa korupsi ini adalah suatu hal yang salah.
    Cara ini mulai dilakukan oleh pemerintah melalui sekolah-sekolah dengan menerapkan sistem kantin kejujuran. Kantin kejujuran adalah sebuah sistem kantin dimana murid-murid mengambil sendiri barang apa yang ia inginkan. Sekilas sistem ini terlihat seperti suatu sistem yang biasa dilakukan di supermarket dimana konsumen melayani dirinya sendiri.
        Namun di kantin kejujuran, murid bukan hanya harus melayani dirinya sendiri tapi juga harus membayar serta mengambil kembalian sendiri tanpa adanya orang yang mengawasai, sehingga hal ini merupakan solusi untuk mempersiapkan masyarakat yang menjunjung tinggi kejujuran. Dengan kata lain, sistem kantin ini berbeda dari kantin-kantin yang ada umumnya karena di sini tidak terdapat penjual.
      Sistem kantin kejujuran ini dapat merangsang kejujuran murid karena ia akan belajar menjadi orang yang berusaha menjaga amanat yang diberikan oleh orang lain kepada dirinya. Di samping itu, kantin kejujuran juga memberikan kontribusi dalam mencerdaskan murid khususnya untuk perhitungan matematis. Kantin kejujuran merupakan upaya preventif dalam menangkal terjadinya tindak korupsi.
       Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi di atas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
  • Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
  • Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
  • Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
  • Kurangnya pendidikan.
  • Adanya banyak kemiskinan.
  • Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
  • Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
  • Struktur pemerintahan.
  • Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
  • Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
     Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
  • Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
  • Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
  • Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
  • Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
      Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
     Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
     Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-     ciri korupsi antara lain sebagai berikut :
·      Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
·      Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
·      Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
·      Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
·      Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
·      Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
·      Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
·      Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
·      Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.